PENDAHULUAN
a.
1. Latar belakang
Suatu
fitrah jika manusia terdorong untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanya. Oleh
karena itu juga merupakan fitrah, jika manusia berusaha memperoleh kekayaan
untuk memenuhi kebutuhan tersebut, serta berusaha untuk mencari pekerjaan untuk
bisa memperoleh kekayaan tersebut[1].
Dengan bekerja setiap individu dapat memenuhi hajat hidupnya, hajat hidup
keluarganya, memberi pertolongan kepada kaumnya yang membutuhkan, berjalan
dijalan Allah dan menegakan kalimah-Nya, sesuai dengan firman Allah :
والله فضل بعضكم على بعض فى الرزق
فما الذ ين فضلو ا برادي رزقهم على ما ملكت ايمانهم فهم فية سواء افبنعمه الله
يجحد ون
Artinya
: Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain
dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau
memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama
(merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.[2]
Falsafah
islam memandang tugas awal yang harus dilakukan seorang pemimpin adalah mencari
dan menseleksi calon pegawai guna menempati pos-pos pekerjaan yang telah
ditetapkan. Pemilihan karyawan merupakan aktivitas kunci untuk menentukan
jalanya sebuah perusahaan.[3] Maka,
para pemimpin harus selektif dalam memilih calon pegawai, mereka adalah orang
yang berkompeten dibidangnya, memiliki pengetahuan luas, rasa tanggung jawab
dan dapat dipercaya (amanah).
Merekrut dan
menyeleksi calon karyawan merupakan persoalan yang krusial. Hal ini pernah
diisyaratkan oleh Rosulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dari Abu Hurairah. Rosulullah bersabda :
Ketika
menyia-nyiakan amanah, maka tunggulah kehancuran. Dikatakan, hai Rosulullah,
apa yang membuatnya sia-sia? Rosulullah bersabda : “ketiak suatu perkara
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuranya”.
Dari penjalasan
diatas dapat ditarik pengertian bahwa islam sendiri memperbolehkan seseorang
untuk merekrut kemudian mengontrak tenaga kerja atau buruh agar mereka bekerja
untuk orang tersebut, Allah SWT berfirman :
اهم يقسمون رحمت ربك نحن قسمنا بينهم معيشتهم في
الحيو ة الد نيا ورفعنا بعضهم فوق بعض درخت ليتخذ بعضهم بعضا سخر يا ورحمت ربك
خيرمما يجمعون
Artinya
: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.[4]
Dalam
hal rekrutmen dan seleksi di awal perkembangan islam, jabatan kepegawaian tidak
membutuhkan ujian bagi calon pegawai, tetapi hanya memakai consensus pendapat
para sahabat. Hal ini bisa dimaklumi, karena masyarakat muslim pada saat itu
masih relative kecil. Sedangkan pemilihan calon pegawai yang dilakukan instiusi
dewasa ini merupakan pengembangan dan penyempurnaan prinsip-prinsip seleksi di
awal perkembangan islam. Calon pegawai diseleksi pengetahuan dan kemampuan
teknisnya sesuai dengan beban dan tanggung jawab pekerjanya.
Pembahasan
mengenai ijarah sebagai salah satu kegiatan muamalah, sebenarnya telah banyak
dilakukan oleh ahli ekonomi islam, hal ini dikarenakan agama islam adalah
sekumpulan aturan-aturan Allah yang mengatur kelangsungan hidup manusia dalam
segala aspek baik individu maupun kolektif, karena syariat islam merupakan
manifestasi dari aqidah yang berupa aturan-aturan yang berhubungan dengan
sesama manusia dalam bidang fiqh muamalah.
b.
2. Pokok
masalah
Bertitik
tolak dari latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahanya sebagai berikut:
·
Bagaimana mekanisme rekrutmen dalam kajian
islam?
·
Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap rekrutmen?
PEMBAHASAN
a. 1. Pengertian
Rekrutmen
Rekrutmen
merupakan proses mencari, menemukan, dan menarik para pelamar untuk
dipekerjakan dalam dan oleh suatu organisasi atau perusahaan[1]. Maksud
rekrutmen adalah untuk mendapatkan persediaan sebanyak mungkin calon-calon
pelamar sehingga organisasi akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk
melakukan pilihan terhadap calon pekerja yang dianggap memenuhi standar
kualifikasi organisasi.
Hukum islam
mengklarifikasi bahwa proses yang dijalankan antara pemilik perusahaan dan
pekerjanya dalam pencarian seorang pegawai, dapat digolongkan dalam kategori
Ijarah (sewa-menyewa), tapi konsep ijarah disini janganlah diartikan menyewa
suatu barang untuk diambil manfaatnya saja, akan tetapi ijarah haruslah
dipahami dalam arti luas. Terkait dengan persoalan diatas penulis lebih
memfokuskan pembahasanya pada ijarah al-‘amal karena berkaitan dengan obyek
penelitian yaitu tentang mekanisme rekrutmen dalam islam.
Yang
menjadi dasar hukum rekrutmen dan seleksi dalam al-qur’an terdapat dalam surah
Al-Qashash ayat 26 sebagai berikut :
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ
اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Artinya : “Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja(pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya".[2]
b.
2. Pentingnya Sebuah
Rekrutmen
Rekrutmen dilaksanakan dalam suatu
organisasi karena kemungkinan adanya lowongan (vacancy) dengan beraneka
ragam alasan, antara lain:
-
Berdirinya organisasi baru
-
Adanya perluasan kegiatan organisasi;
-
Terciptanya pekerjaan-pekerjaan dan kegiatan baru;
-
Adanya pekerja yang pindah ke organisasi lain;
- Adanya pekerja yang berhenti, baik dengan hormat maupun
dengan tidak hormat sebagai tindakan
-
Adanya pekerja yang berhenti karena memasuki usia pensiun;
-
Adanya pekerja yang meninggal dunia.[3]
Karena alasan-alasan itulah sebuah organisasi
membutuhkan penyegaran berupa merekrut kembali pekerja yang telah meninggalkan
jabatanya baik direkrut secara internal maupun eksternal. Islam sendiri
mendorong umatnya untuk memilih calon pegawai berdasarkan pengetahuan,
pengalaman, dan kemampuan teknis yang dimiliki. Sebagaimana firman allah dalam
surah Al-Qashas ayat 26 : “Sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya”.
Calon pegawai haruslah dipilih berdasarkan kepatutan,
kelayakan. persoalan ini pernah diingatkan oleh Rosulullah dalam sabdanya: “Barang
siapa mempekerjakan orang kerena ada unsure nepotisme, padahal disana terdapat
orang yang lebih baik daripada orang tersebut, maka ia telah
mengkhianati amanah yang telah diberika oleh Allah, Rosul-Nya dan kaum muslimin[4].
Dalam hadis lain Rosulullah bersabda: “Barang siapa mempekerjakan satu orang
diantara sepuluh orang, dan ia tahu bahwa diantara mereka terdapat orang yang
lebih utama (patut dan layak), maka ia telah menipu Allah, Rosul-Nya dan kaum
muslimin secara umum”.
c.
3. Syarat Rekrutmen dalam
Islam
Dalam kitab ‘Al-Siyasah
al-Syar’iyyah’ Ibn Taimiyah menjelaskan, ”yang terpenting dalam persoalan
ini (mencari dan mengangkat pegawai) adalah mengetahui yang paling pantas dan
layak. Hal ini bisa disempurnakan dengan mengetahui wilayah dan jalan yang
dimaksudkan untuk menuju kearah sana. Jika engkau telah mengetahui maksud dan
media (fasilitas) untuk mencapainya, maka sempurnakanlah urusan itu.[5]
Untuk mengetahui siapa yang paling
patut dan layak menduduki sebuah jabatan, harus ditentukan maksud dan tujuan
dari adanya jabatan tersebut. Kemudian, dipikirkan bagaimana caranya
(menggunakan media, fasilitas) untuk menyempurnakan tujuan itu. Hal ini biasa
dilakukan dengan membuat program-program atau langkah strategis untuk
meraihnya. Dengan demikian, diharapkan bisa menemukan sosok yang patut dan
layak untuk mengemban tanggung jawab yang telah ditentukan. Mengetahui wewenang
dan tanggung jawab sebuah pekerjaan adalah persoalan pokok (krusial) untuk
menemukan calon pegawai yang paling ideal.
Sebagai contoh, ketika ingin
mengangkat seorang pejabat, Khalifah Umar r.a. senantiasa menyediakan waktu
untuk menentukan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang harus diemban oleh
seorang pejabat. Setelah itu Khalifah akan memberikan tanda tangan dan stempel,
serta disaksikan oleh beberapa sahabat Anshar dan Muhajirin.
Jika dianalogikan dengan ilmu
manajemen modern, sahabat Umar r.a. bias dinobatkan sebagai tokoh Manajemen.
Setidaknya hal ini didukung oleh langkah-langkah ayang ditempuh Umar r.a. yang
menjalankan proses manajemen tepatnya pada rekrutmen dan seleksi.
4. Rekrutmen dalam Kajian Islam
Sebagaimana yang telah disebut
diawal bahwa penulis mencoba mensinergikan system ijarah kedalam rekrutmen,
disini penulis berfikiran bahwa inti
dari rekrutmen adalah mencari pekerja baru, dengan kata lain dapat disebut
dengan menyewa tenaga seseorang agar dapat bekerja pada perusahaan.
Kalau
sekiranya kitab-kita fiqh selalu menerjemahkan kata ijarah dengan
“sewa-menyewa”, maka hal itu janganlah diartikan menyewa suatu barang untuk
diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti luas. Lafaz ijarah
mempunyai pengertian umum yang meliputi upah atas pemanfaatan suatu benda atau
imbalan atas suatu kegiatan, atau upah karena melakukan suatu aktivitas.[1]
Secara
garis besar ijarah terdiri atas dua bagian, pertama ijarah al-‘ain yaitu
pemberian imbalan karena mengambil manfaat dari suatu ‘ain seperti rumah,
pakaian, dll.[2]
Kedua, ijarah al-‘amal yaitu pengambilan tenaga pekerja atau buruh untuk
melaksanakan pekerjaan yang nantinya pihak yang menyewa harus memberikan upah.
Taqiyud An-nabhani memberikan pengertian bahwa ijarah al-‘amal adalah pemilik
jasa dari seorang ‘ajir (orang yang dikontrak tenaganya) oleh musta’jir
(orang yang mengontrak tenaga), serta pemilikan harta dari pihak musta’jir oleh
seorang ‘ajir, dimana ijarah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan
disertai kompensasi.[3]
Terkait
dari persoalan diatas penulis lebih memfokuskan pembahasanya pada ijarah
al-‘amal karena kaitanya dengan obyek penelitian yakni rekrutmen dalam islam.
Dalam bahasa Arab kata ‘amal untuk menunjukan arti kata “kerja”, pada umumnya
juga terdapat pada ‘ajir berarti orang yang bekerja untuk orang lain dengan
memperoleh imbalan upah. Fiqh islam membagi ‘ajir menjadi dua bagian yaitu : ‘ajir
khas yaitu orang yang disewa dalam waktu tertentu untuk bekerja, jika
waktunya tidak maka sewa-menyewa jadi tidak sah.[4] Ahmad
Bisri dalam membahas ketentuan hukum bagi ‘ajir khas tentang hak upah
mengemukakan bahwa ‘ajir khas berhak atas upah yang telah ditentukan bila ia
telah menyerahkan diri kepada musta’jir. Sedangkan yang kedua adalah ‘ajir musytarak
adalah orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang dimana mereka secara
bersama-sama memanfaatkan seperti tukang jahit, perajin kayu, dll.
[1] Helmi karim, fiqh Muamalat, cet I (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 1997) hal. 29
[2] Ibid. hal 34
[3] Taqiyud
An-nabhani, Membangun System Ekonomi Alternative, alih bahasa oleh Moh.
Magfur Wachid, cet : 7 (Surabaya : Risalah Gusti) hal.83
[4] Sa-sayyid Sadiq, Fiqh, hal. 208
[1] Gomes, Faustini Cardoso., Manajemen Sumber Daya
Manusia, Penerbit Andi, Yogyakarta, 1995 hal 105
[2] Al-Qhashas : 26
[3] Gomes, Faustini Cardoso., Manajemen Sumber Daya
Manusia, Penerbit Andi, Yogyakarta, 1995 hal 106
[4] Abu Sinn, Ahmad Ibrahim, Manajemen Syariah. (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2006) hal.106
[5] Ibn Taimiyah, ‘Al-Siyasah
al-Syar’iyyah’ hal. 21
0 komentar:
Posting Komentar