Rekonstruksi Paradigma Ilmu Pengetahuan


   
    Sebagian besar pemikir dunia selalu mengatakan bahwa suatu negara akan sejahtera ketika ilmu pengetahuan menjadi landasan utama dalam memajukan manusia. Bahkan tokoh sekelas Paulo Freire pun berani menjamin bahwa pendidikan merupakan jalan untuk menjadikan manusia sebagai subyek utama penggerak kehidupan.

            Apapun bentuk produknya, pasti hal pertama yang dibutuhkan adalah ilmu pengetahuan, karena sangat mustahil seorang atau sekelompok manusia bisa memahami bahkan mengembangkan sesuatu hal tanpa ilmu pengetahuan. Kita boleh melihat kedikdayaan bangsa-bangsa di belahan Amerika dan Eropa, mereka bisa maju seperti sekarang ini karena mengalami revolusi ilmu pengetahuan yang begitu kental disemua sektor kehidupan terlebih industri dan teknologi. Bagaimana dengan Indonesia?
            Menurut data terakhir yang dikeluarkan oleh Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) awal November 2011 silam, tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia berada di urutan ke-124 dari 187 negara yang disurvei. IPM Indonesia hanya 0,617, jauh di bawah Malaysia di posisi 61 dunia dengan angka 0,761.
            Semakin tinggi peringkat suatu negara dalam indeks itu berarti semakin mendekati negara gagal. Indeks tersebut memasukkan 177 negara ke dalam empat posisi dari segi dekat jauhnya terhadap kategori negara gagal, yaitu posisi waspada (alert), dalam peringatan (warning), sedang (moderate), dan bertahan (sustainable). Selama periode 2005-2010, Indonesia selalu berada dalam kategori negara "dalam peringatan". Posisi itu lebih dekat jaraknya dengan posisi "waspada" negara gagal ketimbang dengan posisi "bertahan". Indonesia bahkan belum pernah masuk di zona negara moderat.
            Yang lebih merisaukan, keberhasilan Indonesia untuk menurunkan peringkatnya selama periode 2007-2009 dari urutan ke-55 (2007) menjadi ke-60 (2008) dan ke-62 (2009) mengalami kenaikan lagi pada tahun pertama periode kedua pemerintahan Presiden SBY. Pada 2010, peringkat Indonesia naik satu tingkat menjadi urutan ke-61.
            Sangat jauh dari harapan memang, tetapi inilah realita yang dialami oleh negara yang katanya tingkat melek huruf ‘sudah’ berkurang. Esensinya, jika ingin memajukan kualitas manusia di Indonesia, kita harus merekonstruksi kembali paradigma dan cara berfikir akan pentingnya ilmu pengetahuan.
            Selama ini paradigma pengetahuan masyarakat Indonesia di beberapa daerah cenderung apatis. Masyarakat di beberapa daerah terpencil cendrung berfikiran bahwa ilmu pengetahuan adalah hak milik beberapa komunitas tertentu, atau mencari uang semenjak dini lebih baik dari memcari ilmu pengetahuan. Belum lagi paradigma masyarakat perkotaan yang lebih menganggap ilmu pengetahuan sebagai konsep yang hanya perlu dicerna ketika berada di dalam sebuah lingkungan pendidikan. Ironis memang, tapi cara pandang yang seperti inilah yang harus segera dirubah dengan mensosialisaikan kembali akan pentingnya pendidikan dan proses pembelajaran.
            Hal-hal semacam ini apabila tidak ditanggapi dengan serius, akan ada bayangan kelam tentang masa depan manusia Indonesia, terutama ketika kita hendak memproyeksikan bangsa ini dalam ruang globalisasi dan pasar bebas. Kelalaian kita dalam mengurus persoalan asasi ini akan menyebabkan pembangunan nasional kehilangan pesona bagi warga bangsa. Itu artinya kita menyaksikan proses regenerasi pembangunan dalam bentuk-bentuk yang semakin parah seperti yang dikisahkan UNDP kepada kita.

0 komentar:

Posting Komentar