Sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan konsep manajemen dari masa
ke masa selalu berupaya untuk mencapai sebuah kepuasan dan optimalisasi hasil.
Berbagai teknik dan metode serta pendekatan-pendekatan baru dikembangkan untuk
menyempurnakan yang sudah ada. Pada
awal muncul hingga akhir abad ke-20, konsep manajemen belum sepenuhnya mengatur
secara baik tentang program, kegiatan, dan hak pekerja dalam organisasi.
Kebanyakan konsep manajemen pada saat itu lebih terfokus pada peningkatan
produktifitas dan pencapaian hasil yang maksimal (result oriented).
Manusia tidak dianggap sebagai aset terpenting dalam perusahaan, yang terpenting masa itu adalah efisiensi dana dan waktu produksi. Hal semacam ini menimbulkan dampak yang sangat signifikan dalam diri karyawan, seperti depresi, stress dengan tekanan hidup, mobilitas antar geografis, karakteristik pekerjaan yang bersifat sementara, himpitan ekonomi, teknologi yang semakin canggih menjadikan kurangnya keterikatan jiwa yang dirasakan oleh banyak orang. Lebih lanjut, generasi baby boomers mulai mencari sesuatu yang bermakna dalam hidup, sesuatu yang bermakna di balik pekerjaan. Hal ini menyebabkan karyawan untuk mengintegrasikan kehidupan personal mereka dengan kehidupan profesional. Selain beberapa alasan tersebut, sangat mungkin orang merasakan adanya sesuatu kekosongan nilai dan kepercayaan dalam lingkungan kerja.
Manusia tidak dianggap sebagai aset terpenting dalam perusahaan, yang terpenting masa itu adalah efisiensi dana dan waktu produksi. Hal semacam ini menimbulkan dampak yang sangat signifikan dalam diri karyawan, seperti depresi, stress dengan tekanan hidup, mobilitas antar geografis, karakteristik pekerjaan yang bersifat sementara, himpitan ekonomi, teknologi yang semakin canggih menjadikan kurangnya keterikatan jiwa yang dirasakan oleh banyak orang. Lebih lanjut, generasi baby boomers mulai mencari sesuatu yang bermakna dalam hidup, sesuatu yang bermakna di balik pekerjaan. Hal ini menyebabkan karyawan untuk mengintegrasikan kehidupan personal mereka dengan kehidupan profesional. Selain beberapa alasan tersebut, sangat mungkin orang merasakan adanya sesuatu kekosongan nilai dan kepercayaan dalam lingkungan kerja.
Dalam
perjalanan ilmu manajemen, munculnya nilai-nilai dalam diri pekerja baru
disadari di akhir abad ke-20, yakni melalui studi yang dilakukan Tom Peters dan
Robert Waterman dengan berkeliling dunia di tahun 1982. Tom dan Waterman meneliti
43 perusahaan teratas Fortune 500 yang bermasalah. Hasilnya mereka menyimpulkan
bahwa ada tujuh hal yang paling mempengaruhi dalam terciptanya kesuksesan dalam
organisasi, diantaranya ; struktur, strategi, sistem, gaya manajemen,
keterampilan perusahaan, staff yang unggul, dan sistem nilai-nilai.[1]
Jika ditahun-tahun sebelumnya penelitian tentang nilai-nilai dan makna dalam
organisasi belum ada yang menemukan, akan tetapi dalam penelitian Peters dan Waterman
di tahun 1982, menemukan hal baru yang membuat pekerja bisa mencurahkan seluruh
tenaganya demi hal tesebut, yakni adanya nilai-nilai lain yang bersifat
abstrak. Ini adalah penelitian pertama yang menemukan adanya sistem nilai dalam
organisasi.
Penelitian terkait adanya sistem
nilai dalam organisasi juga disadari oleh seorang akademisi dari Carleton
College bernama Robert K. Greenleaf (1985) melalui buku karanganya yang
berjudul Servant Leadership : The Leadership Theory, menjelaskan
bahwa teori kepemimpinan yang lazim digunakan (leadership transformasional)
memiliki budaya yang berbeda dengan teori servant leadership. Penekanan
yang berbeda dari dua teori tersebut menyebabkan lingkungan budaya yang sangat
berbeda. leadership transformasional yang penekanan dikombinasikan pada
kinerja akan menumbuhkan inspirasi sebuah budaya yang dinamis (dynamic
culture). Sementara servant leadership menekankan pada kepemimpinan
bersama dengan pengikut yang akan menciptakan budaya kerja yang bersifat
spiritual (spiritual generative culture).[2]
Berlanjut
ke tahun 1990, dalam buku The Fifth Discipline : Strategies and Tools for
Building a Learning Organization, karangan Peter Sange, mengatakan bahwa
ada lima startegi yang akan membawa organaisasi ke wilayah yang lebih baik,
antara lain sistem berfikir, personal mastery, modal mental yang kuat,
organisasi menetapkan visi secara bersama-sama, belajar bersama dalam tim. Pada
tahap personal mastery, Sange menjelaskan bahwa seseorang karyawan membutuhkan
jalan untuk mencapai personal mastery dalam organisasi. Dalam hal ini pemimpin
harus mampu mengidentifikasi tujuan dalam empat bidang kehidupan: fisik,
mental, sosial/emosional, dan spiritual. Kemudian keempat tujuan tersebut perlu
diintegrasikan ke dalam diri karyawan, sehingga akhir tujuan tersebut akan menimbulkan
sebuah nilai abstrak berupa kepuasan diri, yang pada akhirnya juga berdampak
positif bagi perkembangan organisasi.[3]
Dari
dua konsep di atas, pada penelitian Greenleaf dan Sange sudah terlihat bahwa
adanya sebuah pengakuan akan pentingnya nilai spiritualitas dalam organisasi. Spiritualitas
semakin diakui sebagai hal yang vital dalam organisasi ketika Mitroff dan
Denton (1999) mendapatkan sesuatu yang bernilai dalam penelitianya. Melalui
hasil kajianya yang berjudul A Spiritual Audit of Corporate America: A Hard
Look at Spirituality, Religion, and Values in the Workplace, Mitroff dan
Denton mengakui bahwa telah terjadi pergeseran dari paradigma lama ke paradigma
baru dalam organisasi. Untuk itu organisasi perlu berevolusi dari “values
based companies” (perusahaan berdasakan nilai) menuju “Spiritualities
based organization” (organisasi berdasarkan spiritual). Hal tersebut
membuktikan bahwa spiritualitas mendapatkan perhatian dalam dunia kerja, bahkan
yang lebih ideal adalah organisasi harus menaruh perhatian yang serius terhadap
spiritualitas jika tidak ingin rugi.[4]
Melalui
penelitian Mitroff dan Denton, terlihat sebuah ketegasan akan munculnya
paradigma manajemen postmodern yang menekankan pada prinsip-prinsip spiritual,
dan menentang paradigma modern yang lazim digunakan. Sebuah pergeseran akan
kesadaran manajer dan karyawan pada semua level organisasi mulai terjadi di
mana mereka mencari sesuatu yang lebih dari pekerjaan berupa makna, tujuan
akhir, serta pemenuhan akan kebutuhan dalam pekerjaan mereka.
Pada
penelitian Mitrof dan Denton ini terdapat sebuah ketegasan tentang makna dari
spiritualitas. Berdasarkan kesimpulan hasil wawancara yang dilakukannya dengan
banyak responden, Mitrof dan Denton berkesimpulan bahwa spiritualitas bukan
bagian inherent dari setiap agama formal, sekalipun sering terkait
dengan suatu agama tertentu, spiritualitas bukanlah Islam, Kristen, Yahudi,
Budha, dan agama lainya. Tetapi pada saat yang sama spiritualitas juga Islam,
Kristen, Yahudi, Budha, dalam artian, semua itu adalah jalan-jalan penting di
mana spiritualitas dialami dan dijalani secara historis.[5]
Penelitian
ini ada benarnya karena Mitrof dan Denton memilih lokasi penelitian di negara
yang tidak mewajibkan warga negaranya untuk memeluk salah satu agama, inilah
Amerika Serikat, di mana kaum ateis bisa berkembang dengan bebas. Tetapi
bagaimana jika penelitian tersebut dilakukan di Indonesia? Yang notabene
setiap warga negara wajib memeluk salah satu agama, sesuai dengan idiologi pancasila,
mungkin definisi spiritualitas akan melekat erat dengan agama.
Peneliti
berkeyakinan besar bahwa dikarenakan Indonesia sebagai negara yang memiliki enam
agama resmi yang dari salah satu agama tersebut harus dipeluk oleh warga
negaranya, memberikan sebuah jalan dan peluang besar bagi CEO dan ahli-ahli
organisasi untuk membangun sebuah konsep spiritual dalam pengembangan sumber
daya manusia dalam organisasi. Mereka menjadikan nilai-nilai luhur agama (instrinsic
religion) sebagai landasan utama dalam membangun konsep spiritualitas di
organisasi, karena dalam realita kehidupan seringkali kita mendengar seseorang
yang mencapai sebuah ketenagan jiwa melalui agama.
Penelitian
Mitrof dan Denton sesungguhnya telah menjadi ilham bagi perkembangan organisasi
di Indoensia. Perjalanan panjang sejarah internalisasi spiritualitas dalam
manajemen sumber daya manusia berlanjut pada penemuan konsep the celestial
management oleh Riawan Amin (1999). Dalam teorinya Riawan menjelaskan bahwa
dalam bisnis bukan hanya sekedar good corporate governance, akan tetapi
juga harus memenuhi God corporate governance. Bisnis merupakan amanah
dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat,
sehingga praktik-praktik organisasi dituntut transparansi dan akuntabilitas
yang tinggi dari sekedar terciptanya good corporate governance. Melalui
nilai-nilai luhur ZIKR, PIKR, dan MIKR, diharapkan tata kelola organisasi yang
baik akan muncul dan berkembang dalam organisasi Indonesia khususnya yang
memiliki budaya organisasi bernafaskan Islam.
Selain
Riawan Amin, di Indonesia juga ada tokoh lain yang mewarnai perjalanan sejarah
spiritual dalam ranah manajemen sumber daya manusia, yakni Ary Ginanjar
Agustian (2000) dengan karya terbaiknya ESQ : Emotional Spiritual Quotient, menjelaskan
bahwa ada korelasi yang sangat kuat antara dunia usaha, profesionalisme dan
manajemen modern, dalam hubungannya dengan intisari Islam, yaitu rukun iman, rukun
Islam, dan Ihsan. buku ini semakin menguatkan akan pentingnya nilai spiritual,
khususnya nilai spiritual dalam Islam, untuk menjadi panduan yang wajib dikembangkan
dalam organisasi di Indonesia, khususnya organisasi Islam.
Setelah kurun waktu
2000-an, di Indonesia semakin banyak ahli yang meneliti tentang perlunya
nilai-nilai spiritual ditumbuhkembangkan dalam manajemen dan budaya organisasi,
seperti karya Sayuti Hasibuan (2000) tentang MSDM dengan Pendekatan Non
Sekuler, Lukman Hakim dan Wijayanto (2007) tentang Spiritual Based
Management : Memimpin dan Bekerja Berbasis Spiritual, Sanerya Hendrawan
(2010) tentang Spiritual Management, Jusmaliani (2011) tentang
Pengelolaan Sumber Daya Insani. Dan beberapa buku-buku lainya terkait manajemen
spiritual di dunia kerja yang belum peneliti temui dan ketahui.
[1]
Alan Chapman, “Tom Peters and Robert H Waterman Jr - In Search Of Excellence
Summary”,http://www.businessballs.com/tompetersinsearchofexcellence.htm,
diakses tanggal 15 Januari 2012.
[3] Mark K. Smith, “Peter Senge and The Learning
Organization”, http://www.infed.org/
thinkers/senge. diakses
tanggal 15 Februari 2012.
[4] Dalam tulisan Louis
W. Fry dan Laura L. Matherly, “Spiritual Leadership and Organizational
Performance: An Exploratory Study”, http://www.tarleton.edu/Faculty/fry/SLTOrgPerf.pdf,
diakses tanggal 17 Januari 2012.
0 komentar:
Posting Komentar