Seleksi dalam Kajian Manajemen Islam

     A.   Pengertian Seleksi
Seleksi adalah pemilihan tenaga kerja dari sekelompok calon tenaga kerja atau pelamar potensial atau terbaik untuk satu jabatan atau posisi tertentu[1]. Seperti halnya fungsi rekrutmen, proses seleksi merupakan salah satu fungsi terpenting dalam manajemen sumber daya manusia, karena tersedia/tidaknya pekerja dalam jumlah dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan organisasi, diterima/tidaknya pelamar yang telah lulus proses rekrutmen, sangat ditentukan oleh fungsi seleksi ini. Jika fungsi ini tidak dilaksanakan dengan baik maka dengan sendirinya akan berakibat fatal terhadap pencapaian tujuan-tujuan organisasi.

            Seleksi dalam kajian Islam merupakan sesuatu yang asasi (pokok). Hal ini setidaknya dicerminkan dari sikap Rasulullah ketika akan mengangkat Muadz bin Jabal sebagai pejabat kehakiman.[2] Rasulullah bertanya kepada Muadz: “Dengan apa engkau akan memutuskan persoalan hukum?”, Muadz menjawab: “Dengan Kitabullah”, Rusulullah bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukanya?”, Muadz menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah (Hadis)”, Rasulullah bertanya lagi: “Jika engkau tetap tidak menemukanya?”, Muadz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Rasulullah bersabda: “Alhamdulillah, Allah telah menolong utusan Rosulullah menjalankan agama sesuai dengan apa yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.”
B.     Seleksi dalam Islam
Proses pemilihan calon pegawai yang dilakukan instansi/perusahaan dewasa ini merupakan pengembangan dan penyempurnaan prinsip-prinsip di awal perkembangan islam. Calon pegawai diseleksi pengetahuan dan kemampuan teknisnya sesuai beban dan tanggung jawab pekerjaanya. Rosulullah dan khalifaur Rasyidin senantiasa menerapkan prinsip untuk tidak membebankan tugas dan tanggung jawab kepada seseorang yang tidak mampu mengembanya. Dalam Al’quran surat Al-Qashash ayat 26 Allah berfirman:
"Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja(pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".[3]

          Apabila dicermati dari ayat tersebut (Q.S. 28:26) dalam memilih seorang pegawai dibutuhkan setidak-tidaknya dua syarat yaitu: “ kuat dan amanah”. Pertama: memiliki kekuatan meliputi kuat aqidah (quatul aqidah), cerdas (quatul fikr), wawasan jauh kedepan (tsaqofah), cerdas hatinuranya (quatul ruhiyah) dan bekerja professional (itqon). Seorang pegawai yang memiliki kekuatan aqidah sudah dapat dipastikan akan tertanam dalam dirinya merasa dipantau  (muroqobah) oleh Sang Pencipta. Dengan tertanamnya rasa dipantau dalam bekerja, maka akan melahirkan pribadi rajin dan ulet bekerja baik ada atasanya maupun dalam kesendirian, karena menjalankan tugas sebagai kewajib pribadi. Kekuatan aqidah juga perlu diimbangi kecerdasan berfikir sehingga bekerja akan berdasarkan nalar yang hidup. Apakah pekerjaan membawa manfaat atau mudarat untuk kepentingan publik, maka cara berfikir yang cerdas akan memberikan pertimbangan matang. Oleh karenanya, seorang yang professional akan menggabungkan secara seimbang aqidah, cara berfikir, wawasan, kecerdasan spiritualnya sehingga melahirkan amal secara berdaya guna dan hasil guna untuk kepentingan orang banyak. Dalam konsep Islam disebut rahmatan lil ‘alamin sebagaimana dipraktekan Rasululloh SAW ketika menata masyarakat madaninya dan diabadikan al-Qur’an sebagai berikut:
وماارسكنك الارحمةللعلمين
Artinya :
            Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat   bagi semesta alam(Q.S. 21:107).

            Kedua: seorang pegawai memiliki amanahnya dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang diberikan kepadanya. Karena, faktor amanah sangat dibutuhkan sebagai kontribusi nyata mewujudkan pemerintahan yang bersih (good governance). Kepercayaan masyarakat tidak terlepas sejauh mana para abdi Negara mampu menjalankan tugas yang diembankannya melalui kerja jujur, disiplin dan bertanggung jawab. Mengingkari amanah yang diberikan kepada pegawai sesungguhnya telah melecehkan atau menghianati Allah swt dan Rasulnya. Untuk itulah, pegawai yang professional atas bingkai iman perlu merenungkan penegasan Alloh swt dalam firman-Nya:
 يايهاالذين امنوالاتخونواالله ورسول وتخونواامنتكم وانتم تعلمون
Artinya :
            “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan             Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-           amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (Q.S.      8:27).
          C.   Proses test dalam seleksi
1.     Test kemampuan dan bakat
Test ini bertujuan untuk mengukur kemampuan umum untuk mempelajari atau menguasai sebuah keahlian[4]. Salah satu contoh dari test ini adalah test kemampuan mengetik cepat bagi sekretaris. Disamping test kemempuan bakat juga ada test kemampuan mental ini berguna untuk mengukur  pertimbangan.
2.      Tes Psikologi atau kepribadian
Kepribadian merupakan percampuran yang unik dari karakteristik-karakteristik individu yang mempengaruhi interaksi dengan lingkungan dan membantu dalam mendefinisikan seseorang[5].
Hal-hal yang di test dalam psikologi:
·         Stabilitas emosional: ini merupakan sejauh mana seseorang tidak menderita sakit jiwa, depresi, kemarahan, kekhawatiran, dan rasa tidak aman.
·         Extroversion: dapat bersosialisasi, senang bergaul, orang yang suka berbicara termasuk orang yang terbuka.
·         Agreeableness: orang yang kooperatif, bersifat baik, berhati baik, toleran, dan kepercayaan; bernilai tinggi dalam dimensi keramahan.
·         Openness: ini mendeskripsikan orang yang fleksibel dalam pikiran dan terbuka pada ide-ide baru, berpandangan luas, penuh rasa ingin tahu, dan orisinal.
·         Conscientiousness: ini merupakan sejauh mana seseorang merupakan orang yang berorientasi pada pencapaian, hati-hati, rajin bekerja, dan bertanggung jawab.
3.      Wawancara seleksi
Sebuah wawancara seleksi di desain untuk mengidentifikasi informasi seorang calon dan menjernihkan informasi dari sumber-sumber lain. Wawancara yang mendalam ini di desain untuk mengintegrasikan seluruh informasi dari formulir aplikasi, tes-tes, dan pengecekan referensi, sehingga sebuah keputusan dapat diambil. Karena integrasi yang dibutuhkan tersebut dan keinginan untuk melakukan kotak secara langsung, wawancara ini merupakan tahap yang  terpenting  dari proses seleksi[6]. Dalam situasi wawancara para pelamar sering kali merasa was-was salah satu penyebabnya adalah seorang pelamar selalu dihantui keraguan jika nanti ada kandidat yang jauh lebih baik dari dirinya, ini merupakan salah satu penyebab kegagalan seseorang dalam wawancara[7].
Ada enam macam jenis wawancara seleksi: terstruktur, situasional, deskripsi tingkah laku, tidak langsung, stress, wawancara panel
  1. Wawancara Terstruktur, menggunakan serangkaian pertanyaan yang terstandarisasi untuk diajukan kesemua pelamar. Setiap pelamar diberikan pertanyaan yang sama
  2. Wawancar Situasional, merupakan wawancara terstruktur yang tersiri dari pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana para pelamar dapat menangani situasi-situasi yang spesifik. 
  3. Wawancara Deskripsi Tingkah Laku, para pelamar diharuskan memberikan contoh-contoh spesifik dari bagaimana mereka melakuakn sebuah prosedur atau menangani sebuah masalah pada waktu yang lalu. 
  4. Wawancara Tidak Langsung, menggunakan pertanyaan umum, yang berasal dari pertanyaan lain yang telah berkembang. 
  5. Wawancara Stres, didesain untuk menciptakan kegelisahan dan tekanan pada para pelamar intuk melihat bagaimana respon orang tersebut. 
  6. Wawancara Panel, Biasanya para pelamar diwawancarai oleh beberapa orang pada saat yang sama[8].



                [1] Silalahi, Ulbert, Asas-asas manajemen, ( Bandung : Mandar Maju, 1996) hal. 247
                [2] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006) hal.109
[3] Al-Qhashas : 26
                [4] Robert L. Mathis and John H. Jackson, MSDM Jilid I, alih bahasa oleh Jimmy Sadeli dan Bayu Prawira Hie (Jakarta: Salemba empat) hal. 322
                [5] Ibid, hal. 324

                [6] Ibid,  hal. 326
                [7] Jay, Wawancara Seleksi, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2005) hal.11
                [8]  Ibid, hal. 330

0 komentar:

Posting Komentar