Sejarah Manajemen Sumber Daya Manusia


          
     Ada beberapa alasan yang menyebabkan ilmu manajemen personalia tidak relevan lagi dengan perkembangan tenaga kerja dan organisasi pada masa akhir tahun 1950-an, yakni pertama, konsep personalia masih menggangap bahwa manusia adalah mahluk produksi yang dan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, kedua, ruang lingkup personalia hanya sebatas hal-hal yang bersifat administratif, ketiga, pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menggerakan laju organisasi masih menggunakan pedekatan klasik, dan keempat,Hal-hal seperti ini yang menuntut pergeseran paradigma ilmu manajemen ke arah yang lebih baik lagi, dan diawal tahun 1950-an pergeseran ilmu manajemen dimulai. 

            Masa-masa awal perkembangan ilmu MSDM, banyak hal yang terjadi di beberapa negara industri di Eropa, sehingga dalam perjalananya ada banyak versi dan pendapat yang berusaha menerangkan awal mula dikembangkanya MSDM, akan tetapi kebanyakan penjelasan sejarah masih berputat pada hal-hal yang berkaitan dengan fenomena dan bukan membahas munculnya konsep MSDM itu sendiri.
            Perjalanan sejarah MSDM sangat terikat dengan sejarah manajemen personalia, bahkan MSDM banyak mengadopsi kerangka berpikir manajemen personalia seperti masalah seleksi, penarikan, penilaian pegawai, promosi, pemberhentian, dan lain-lain. Fenomena MSDM mula-mula muncul sebagai bentuk aktivitas di bidang personalia Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Pada tahun 1915 saat menjelang pecahnya Perang Dunia I (PD I) Angkatan Bersenjata Amerika Serikat mulai mengembangkan korp pengujian psikologi. Korp tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan pengujian tim serikat kerja serta tim semangat kerja. Orang-orang terlatih dalam kedua tim itu, kemudian akan ditempatkan pada formasi kerja sebagai manajer-manajer personalia. Langkah ini ditempuh mengingat bahwa permintaan manajer personalia yang berkualitas pada masa itu sangat banyak. Paparan di atas memperlihatkan bahwa embrio MSDM diawali dari aktivitas manajemen, khususnya aktivitas-aktivitas personnel management.[1]
            Asal mula pemikiran MSDM merupakan hasil penemuan dari Peter Drucker disekitar tahun 1950-an. Karya Drucker The Practice of Management (1955) mengetengahkan manajemen melalui sasaran (Management by Objective). Menurutnya manajemen yang efektif harus mengarah pada pandangan dan usaha dari semua manajer ke arah tujuan bersama. Konsep tersebut menjadi dasar bagi MSDM.[2] Drucker juga merintis sejarah falsafah MSDM dan program sumber daya manusia (SDM) yang dimasukkan sebagai sasaran dan rencana strategis dari perusahaan yang hendaknya diarahkan untuk melibatkan semua orang dalam mencapai tujuan dan rencana bersama.
            Perkembangan MSDM juga diilhami oleh pendapat-pendapat di atas dan diperkuat dengan sumbangan beberapa ahli psikologi seperti Abraham Maslow (1943). Adapun sumbangan yang cukup terkenal adalah teori hierarkhi kebutuhan manusia (hierarchy of needs), yang terdiri atas lima tingkatan. Pada level terbawah adalah kebutuhan fisiologis seperti sandang (pakaian), pangan (makan), dan papan (perlindungan). Level kedua kebutuhan akan keselamatan. Level ketiga kebutuhan sosial, level keempat kebutuhan akan pengakuan dan penghargaan, dan kebutuhan tertinggi adalah aktualisasi diri. Maslow kemudian menambahkan satu dasar kebutuhan lagi, dan ini menjadi dasar terbesar, yaitu metamotivasion.[3] Manusia tidak pernah terpuaskan kebutuhanya, dan itulah yang menjadi faktor pendorong manusia untuk memiliki motivasi kerja yang tinggi untuk bekerja. Dari kelima tingkatan kebutuhan manusia tersebut, kebutuhan aktualisasi diri yang berkenaan dengan proses kematangan, pertumbuhan dan pencapaian rasa percaya diri, berkenaan dengan interaksi manusia dengan organisasi dan pegawai. Hal ini cukup relevan untuk mempertimbangkan dalam konteks MSDM. Teori tersebut juga menyampaikan asumsi bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, bahkan bisa berbuat mulia.
            Ahli psikologi selanjutnya yang juga memberikan sumbangan besar dalam bidang MSDM adalah Frederick Herzberg (1959) dengan temuanya Dual-Factor Theory. Dalam teori ini Herzberg menjelaskan terkait masalah kepuasan kerja karyawan di lingkungan industri, bahwa karyawan tidak puas dengan kepuasan yang lebih rendah, misalnya, terkait dengan sistem upah yang sangat rendah, level atau kondisi kerja yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, karyawan akan lebih membutuhkan prestasi, pengakuan, kemajuan tanggung jawab, dan sifat dari pekerjaan itu sendiri. Sejauh ini, teori Herzberg sangat sejalan dengan teori Maslow tentang hirarki kebutuhan. Namun, Herzberg menambahkan dimensi baru terhadap teori ini oleh mengusulkan sebuah model dua faktor motivasi (Dual-Factor Theory), berdasarkan pada pemikiran bahwa adanya satu set karakteristik pekerjaan atau insentif menyebabkan kepuasan pekerja di tempat kerja, sementara yang lain dan set terpisah karakteristik pekerjaan menyebabkan ketidakpuasan di tempat kerja. Teori ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan sikap kerja dan produktivitas, manajer harus mengenali dan mengurus kedua set karakteristik dan tidak menganggap bahwa peningkatan kepuasan menyebabkan penurunan ketidakpuasan.[4]
            Psikolog selanjutnya adalah Douglas McGregor (1960) dengan mengetengahkan teori X dan teori Y. Menurut Douglas, manusia yang bertipe X adalah manusia yang cendrung bersifat negatif,  sedangkan yang memiliki tipe Y adalah manusia yang cenderung bersifat positif. Seperti halnya di dalam organisasi, empat asumsi yang dipegang manajer saat menghadapi karyawan, yakni karyawan secara inheren tidak menyukai kerja, dan bila dimungkinkan akan mencoba menghindarinya, karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipdiawasi, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal bila mungkin. Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang terkait dengan kerja dan akan menunjukkan ambisi yang rendah. Untuk memotivasi pegawai atau guru yang bercirikan teori X tersebut harus menggunakan pressure, peraturan yang kaku, ketentuan dan petunjuk teknis dalam bekerja secara terperinci. Sedangkan teori Y adalah kebalikan dari sifat-sifat karyawan yang terdapat dalam teori X.[5]
            Perkembangan selanjutnya ditunjukan oleh seorang ilmuan dari Columbia University bernama Rensis Likert (1961) dengan empat sistem manajamen yang sangat terkenal dan banyak diterapkan di perusahaan-perusahaan besar Eropa. Linkert mengembangkan empat sistem manajemen, antara lain otoritatif dan eksploitif, otoritatif dan benevolent, konsultatif, partisipatif.[6] Kemudian pada era tahun 1970-an, Chris Argyris dan Donal Schon mempromosikan teori tindakan melalui pembelajaran profesional dan pembelajaran dalam organisasi (theories of action, double-loop learning and organizational learning). Teori ini sangat kontribusi besar dalam pengembangan apresiasi dan tindakan pekerja dalam organisasi. Organisasi harus memiliki peta mental guna mengetahui situasi para pekerja, karena dengan cara ini pemimpin akan bisa merencanakan, melaksanakan, dan meninjau tindakan.[7]   
            Beberapa teori di atas telah mengilhami lahirnya konsep pengakuan faktor psikis manusia dalam organisasi. Sedangkan untuk istilah bahasa MSDM sendiri baru digunakan dalam kurun waktu 1960-an dan diterima secara luas pada tahun 1970-an pada saat perhimpunan Amerika untuk Administrasi Personalia (American Society for Personal Administration, ASPS) yang kemudian namanya diganti menjadi perhimpunan untuk MSDM atau disebut Society for Human Resources Management (SHRM). Angkatan Bersenjata Amerika Serikat menggunakan istilah MSDM sebagai sinonim dari istilah manajemen personalia. Sungguhpun begitu, kedua istilah tesebut mengacu kepada hal yang serupa, perbedaan antara keduanya terletak pada penekananya. MSDM mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan pembinaan, penggunaan, dan perlindungan terhadap SDM.
            Di akhir tahun 1970-an, konsep MSDM telah diterapkan di banyak organisasi di belahan dunia. Konsep ini berhasil menjelaskan bahwa kesuksesan SDM tergantung pada penciptaan organisasi berdasarkan pada persatuan, pembinaan, penggunaan, perlindungan, penghargaan, pelayanan, dan sebagainya. Dengan kata lain MSDM berhasil menciptakan kesejahteraan SDM dalam ranah material, sedangkan hal-hal terkait non material seperti pencarian makna dalam hidup, menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan, dan pengakuan atas norma-norma spiritual, konsep MSDM belum mampu menjangkaunya. Akan tetapi dalam perjalanan nantinya, yakni disekitar akhir tahun 1990-an, banyak teoritikus dan CEO organisasi yang mencoba mengintegrasikan nilai-nilai spiritual ke dalam teori manajemen. Mereka meyakini bahwa paradigma baru ini –yang menekankan nilai-nilai spiritualitas- akan membawa organisasi ke arah kesuksesan.


                [1] Ambar dkk, Manajemen Sumber Daya Manusia, hlm. 2.
                [2] James AF. Stoner dan R. Edward Freeman, Manajemen, (Jakarta : Intermedia, 1992), hlm. 7.
                [3] Fuad Nashori, Membangun Paradigma Psikologi Islami, (Yogyakarta : Sipress, 2006), hlm. 56.
                [4] Richard Rudman, “History and Development of Human Resources Management”, http://wikipedia.org/wiki/Two-factor_theory, diakses tanggal 15 Februari 2012, hlm. 5
                [5] Riawan Amin, Menggagas Manajemen Syariah, hlm. 219
                [6] Adrian, “Four System of Management”, http://www.change.freeuk.com/learning/ business/systems1to4.html, diakses tanggal 15 Februari 2012
                [7] Sania Brith, “Theories of Action  Chris Argyris and Donal Schon” http://www.infed.org/thinkers/argyris.htm, diakses 15 Februari 2012.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Terimakasih atas ilmunya :)

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar