Sepuluh tahun
bukanlah waktu yang singkat bagi segenap rakyat Jogja yang selalu menanti
penyelesaian draft Rancangan Undang-Undang DIY. Seluruh luapan emosi rakyat mulai
mencapai klimaks, ini tercermin dari kekecewaan akan kinerja pemerintah yang
dianggap kurang serius dalam menyelesaikan draft RUUK. Bahkan kekecewaan ini berlanjut
pada wacana pemisahan diri dari bingkai NKRI jika tuntutan keistimewaan tidak
memihak kepada kemaun rakyat. Inilah salah satu janji yang terlontar dalam Apel
Siaga Rakyat Yogyakarta Pro-Penetapan di Pura Pakualaman beberapa waktu yang silam.
Sementara itu, RUU yang tengah
digodok oleh komisi II DPR RI masih belum menemukan titik penyelesaian, bahkan
harus kembali diundur satu minggu, dari perencanaan semula tangal 5 April
menjadi 13 April. Pembahasan paling alot terjadi pada dua poin krusial, yakni RUUK
dan RUU Pemilu. Dua poin ini memang membutuhkan kajian yang mendalam dan tidak
boleh terjadi kekeliruan sedikit pun, karena salah sedikit dalam mengambil
keputusan, sangat sensitif akibat yang ditimbulkan.
Jelas saja di satu sisi, DIY merupakan
lex speciallis (tentang status ‘daerah istimewa’) dan menjadi dasar bagi
pengaturan khusus menurut Pasal 225-226 UU No. 32 Tahun 2004 sehingga gubernur
sebagai kepala daerah berdasarkan hak asal-usul dari daerah istimewa (bukan
‘daerah khusus’ atau ‘daerah biasa’) dapat langsung diangkat oleh Presiden
terpilih. Tapi di sisi lain, DIY adalah bagian dari NKRI yang wajib menganut
falsafah demokrasi, maka sudah seharusnya pemilihan kepala daerah ditentukan
sepenuhnya oleh rakyat dan azas-azas konstitusional.
Dalam hal ini, penulis berpendapat
bahwa demokrasi pada intinya adalah kekuasaan ada dalam genggaman rakyat, jadi
apabila mayoritas rakyat jogja menginginkan penentapan gubernur dan wakil
gubernur berada di tangan kesultanan dan pakualaman Yogyakarta maka sudah seharusnya
diikuti. Biarlah rakyat yang menjadi penentu sekaligus menjadi kontrol bagi
keduanya. Jika pemerintah mengabaikan nurani rakyat, penulis meyakini ini akan
menjadi blunder yang sangat mematikan bagi pemerintahan SBY. Bisa jadi
wacana yang semula hanya sekedar ucapan dan janji, dikemudian hari benar-benar
akan direalisasikan oleh rakyat Jogja.
Mudah-mudahan dengan adanya aksi Siaga
Rakyat beberapa waktu lalu dan tulisan ini, menjadi salah satu batu pijakan
bagi pemerintah untuk berani mengambil langkah cepat, tepat, dan tentunya wajib
memihak kepada rakyat. Dengan cara ini diharapkan penantian sepuluh tahun masyarakat
Jogja akan bisa terobati.
0 komentar:
Posting Komentar