DPR nan Pongah



Selalu ada kejutan fantastis dari rumah wakil rakyat. Jika dahulu hanya sekedar rencana pembangunan gedung baru DPR yang akan menelan dana triliunan rupiah, lain halnya dengan sekarang. DPR merealisasikan berbagai pembenahan yang menelan dana miliaran rupiah, mulai dari pembenahan ruang rapat badan anggaran Rp 20 miliar, tempat parkir Rp 3 miliar, pembenahan toilet Rp 2 miliar, pewangi ruangan Rp 1,5 miliar, pembuatan kalender Rp 1,3 dan banyak lagi pembenahan dengan rupiah fantastis yang digelontorkan demi menunjang aktifitas para wakil rakyat.

Sungguh wakil rakyat nan pongah (dalam KBBI, pongah diartikan sebagai sikap sombong) dan tidak mau tahu dengan kondisi puluhan ribu rakyat Indonesia yang terjepit di bawah garis kemiskinan. Pongah ketika mencermati tingkah laku hedonis dalam kekuasaan dan praktik-praktik sosial-ekonomi-politik yang mengabaikan bahkan mengorbankan kepentingan publik (antipublik), menghindari keterlibatan masyarakat dalam proses kerjanya (non-partisipatoris) dan mengalienasi diri dari hiruk-pikuk dinamika di luar pengambilan keputusan. Konsekuensi terpenting dari praktek semacam ini adalah kekuasaan –perlahan tapi pasti- menjadi pongah dan tuli.
Semua pemborosan angaran yang dikeluarkan DPR untuk melakukan pembenahan, mengisyaratkan sesuatu yang bersifat sakral. Pembenahan gedung diposisikan sebagai sesuatu yang wajib dilaksanakan. Sakral yang tidak bisa ditawar-tawar, dan menjadi wajib ‘demi’ kelancaran kinerja. Kekuasaan seperti ini secara tidak langsung mengumumkan dua pasal pragmatis. Pasal pertama : penguasa tidak bisa disalahkan, pasal kedua : apabila penguasa salah, harus dikembalikan ke pasal pertama.
Fakta pemborosan yang terjadi di gedung Senayan menguatkan sebuah eksistensi bahwa dalam mengerjakan suatu tugas dibutuhkan pamrih berupa fasilitas-fasilitas nyaman dan mewah. Sangat kontraduktif dengan janji manis yang dilontarkan sewaktu kampanye pemilu dulu.
Jika telah begini adanya, wakil rakyat telah keluar dari tugas suci sebagai penyambung aspirasi dan tidak mencerminkan kehendak umum. Terkait hal ini, seorang filusuf Italia, Geovanni Gentile mengatakan ‘Negara bukanlah kehendak semua orang yang merealisasikan dirinya, melainkan kehendak yang berhasil merealisasikan dirinya sendiri”. Hasilnya adalah subordinasi kehendak individu terhadap kehendak negara. Kehendak individu yang idealis menyebabkan negara beserta rakyatnya menderita, ideologi wakil rakyat seperti ini harus segera dihilangkan.

0 komentar:

Posting Komentar