Manajemen
personalia merupakan cabang dari ilmu manajemen yang telah dipraktikan sejak
adanya hubungan antara atasan dan bawahan atau hubungan superior-subordinasi.
Dalam masyarakat
primitif, terdapat hubungan superior-subordinasi. Superior atau utusan adalah
kepala atau tuan, sedangkan subordinasi adalah anggota-anggota masyarakat. Di
sini pun dalam artian sempit, manajemen personalia sudah dipraktikan. Pada
umumnya masyarakat yang masih sederhana, para anggota masyarakat mengabdi
kepada pemimpin. Karena adanya rasa mengabdi kepada masing-masing orang baik
kepada atasan maupun kepada sesamanya, maka tidak banyak masalah-masalah yang
timbul dan harus dipecahkan oleh atasan.[1]
Antara abad ke-18 dan
abad ke-19, keadaan yang disebut di atas mengalami perubahan drastis. Permulaan
abad ke-18, semua anggota dari suatu kesatuanya dianggap sebagai milik dari
yang mengepalainya. Pada umumnya yang mengepalainya adalah tuan tanah,
sedangkan mereka yang bekerja pada tuan tanah dianggap sebagai budak. Di sini
untuk mencapai tujuan tertentu, para tuan tanah dapat memperlakukan budak semau
hati. Lama kelamaan para budak yang sudah mempunyai keahlian ini dapat menebus
dirinya dari perbudakan dengan jalan pemberian ganti rugi kepada tuan tanah.
Bekas-bekas budak yang sudah bebas ini kemudian menimbulkan kelas baru dalam
masyarakat, yang kemudia diberi nama karyawan merdeka. Sungguhpun mereka
bernama karyawan merdeka, namun sesungguhnya mereka masih bekerja pada
tuan-tuan tanah. Upah yang diterimanya ditentukan oleh tuan tanah sebesar yang
dianggap dapat menyambung hidup karyawan merdeka dengan keluarganya.[2]
Pada perkembangan
selanjutnya, tidak seluruhnya karyawan merdeka bekerja pada tuan tanah,
sebagian bekerja mandiri di rumah dan kemudian hasil kerja dijual kepada
masyarakat sekitar. Karyawan merdeka yang tidak bekerja pada tuan tanah lama
kelamaan menjadi majikan dengan mengupah beberapa orang karyawan merdeka.
Sistem yang demikian ini kemudian menimbulkan apa yang lazim disebut dengan
sistem gilde.[3] Pada
perjalananya nanti, timbul dua macam gilde yaitu, pertama, terdiri dari para
karyawan merdeka yang sudah menjadi majikan dengan pembantu-pembantunya, dan
yang kedua terdiri dari para pedagang lokal yang mau menggabungkan diri guna
menentukan kualitas dan melawan saingan dari luar. Dalam kelas gilde ini dibuat
bermacam-macam peraturan, dan yang paling berhak menentukan peraturan adalah
majikan dari golongan gilde pertama. Merekalah yang menentukan organisasi gilde
dan meraka pula yang mengawasinya. Bila mereka mumbutuhkan pembantu yang lebih
banyak, maka merekalah yang mengurus langsung kepada penguasa yang lebih
tinggi.[4]
Masalah-masalah
manajemen yang merak hadapi pada masa itu ditandai oleh tiga karakteristik
khusus yaitu jumlah produksi dan penjualan yang kecil, majikan dan bawahan
sering bertemu dan berkomunikasi secara tatap muka, dan para pembantu merupakan
benih yang kelak menjadi produsen.[5]
Sistem produksi dengan
sistem manual, dimana produksi dikerjakan dengan tangan, mengalami perubahan
besar seiring ditemukanya mesin uap oleh James Watt, yang kemudian mendorong
terjadinya revolusi industri di beberapa negara maju Eropa. Dalam masa revolusi
industri proses produksi tidak lagi seluruhnya dikerjakan oleh tangan, tetapi
sudah umum menggunakan mesin-mesin.
Pada masa ini,
pendistribusian barang-barang produksi semakin meluas, terutama dengan didukung
oleh perbaikan dan perluasan alat-alat pengangkut. Demikian pula pada modal
atau kapital yang digunakan menjadi berlipat-lipat. Pedagang-pedagang lokal
berubah menjadi pedagang interlokal yang memburu bahan mentah untuk kemudian
diproses produsen kecil (bekas karyawan merdeka) menjadi barang jadi untuk
dijual kepada konsumen. Mereka inilah yang disebut dengan kapitalis. Berhadapan
dengan para pengusaha atau kaum industrialis ini, di dalam masyarakat timbul
suatu golongan masyarakat produsen kecil dan karyawan merdeka dengan sebutan
kaum proletar industri. Mereka inilah yang bekerja pada kaum kapitalis yang
menghasilkan produksi secara besar-besaran dengan mesin, yang kemudian dikenal
dengan masa produksi.[6]
Pada masa ini, golongan
terakhir ini tidak lain dianggap sebagai salah satu faktor produksi saja
(manusia sebagai mesin pencetak laba). Meskipun mereka bebas menawarkan
jasanya, namun mereka berdiri di pihak yang lemah, karena mereka membutuhkan
kerja untuk dapat melangsungkan kehidupan bersama keluarga. Praktis pada masa
ini tenaga kerja dianggap sebagai barang dagangan. Akibat keadaan yang
demikian, maka keadaan keselamatan dan lingkungan pekerjaan tidak diperhatikan
oleh kaum majikan atau kaum kapitalis.[7]
Keadaan
di atas semakin hari semakin berlarut-larut dengan timbulnya paham “Laisseez-faire”
yang dipopulerkan oleh Adam Smith dan pengikutnya. Demikian pula dengan teori
Malthus yang takut akan kelebihan penduduk dunia, seakan-akan menganjurkan
diterlantarkanya keadaan buruh, agar dengan demikian banyak penduduk yang
meninggal dunia yang dapat mengurangi jumlah penduduk dunia. Paham ini
mengakibatkan tidak adanya peraturan dan pengawasan yang dapat melindungi
buruh.[8]
Baru
dipermulaan abad ke-20, timbul perhatian yang lebih besar kepada faktor
produksi tenaga kerja. Bila masa sebelumnya manusia dipandang sebagai barang
dagangan, maka pada permulaan abad ini, manusia mulai dianggap sebagai manusia
yang memiliki perasaan, pikiran, dan kebutuhan. Pada masa-masa inilah diyakini
sebagai tonggak sejarah munculnya pengaturan terhadap keadaan dan kebutuhan
pekerja, atau yang dalam bahasa ilmiahnya lebih dikenal dengan sebutan
manajemen personalia. Jika dilacak dalam tataran konsep, belum ditemukan tahun
pasti munculnya kajian manajemen kinerja, tetapi realita di lapangan mengatakan
bahwa pada pembukaan abad ke-20 kesadaran akan faktor manusia sebagai mahluk
yang memiliki perasaan, kebutuhan, dan lain-lain, sudah sangat disadari.[9]
Keadaan seperti di atas
diimbangi dengan munculnya berbagai konsep yang berusaha mengatur hubungan
tenaga kerja dengan organisasi. Pemikiran Federick Winslow Taylor (1856-1915)
mengemukakan karyanya yaitu Principles of Scientific Management. Menurut
Taylor ada lima langkah yang sebaiknya ditempuh guna meningkatkan produktivitas
perusahaan, yaitu : mengembangkan metode ilmiah dalam menyelesaikan pekerjaan
yang menggantikan metode lama rule of thumb, menyusun tujuan demi
produktivitas, menyusun sistem rewards agar tujuan tercapai, dan melatih
personel menggunakan metode untuk mencapai tujuan.
Perkembangan manajemen
personalia selanjutnya juga diilhami oleh pemikiran Frank Gilberth (1868-1924)
yang mengetengahkan konsep mamagement system yang menitik beratkan pada
kepribadian dan lingkungan kerja sebagai faktor penentu produktivitas
seseorang.
Berbeda dengan Taylor
dan Gilberth yang memiliki kecendrungan bersifat mekanistis, Elton Mayo
(1880-1849) melalui studi di Western Electrical Company, dengan hasil
penelitianya yang sangat terkenal di dunia manajemen dengan nama Hawthorne
Experiment menyimpulkan bahwa orang dapat mencapai produktivitas tinggi
bila menyadari bahwa dirinya memperoleh pengakuan dan penghargaan, dan para
pegawai akan mengembangkan norma-norma resmi.[10]
Mayo juga berkeyakinan bahwa kepuasan kerja berdasarkan pada pengakuan jaminan,
dan menjadi bagian dari tim, di atas penghargaan dalam bentuk uang. Mayo
membangun kesadaran akan perlunya manajemen agar lebih terlibat dengan tenaga
kerja pada tingkat emosional individu. Konstribusi Mayo dalam perkembangan ilmu
manajemen adalah mengembangkan motivasi tenaga kerja dan komitmen serta
hubungan antara tenaga kerja dengan manajemen, mengembangkan pendekatan human
relations manajemen.[11]
Hasil penelitian ini
kemudian mendapatkan dukungan dari Mary Paker Follet (1868-1933) yang meyakini
bahwa segala masalah manajemen pada hakekatnya merupakan masalah hubungan antar
manusia, sedangkan manusia itu sendiri memiliki sikap konstruktif dan
kooperatif. Pandangan Follet mencerminkan perlunya prakondisi demokratis dalam
lingkungan kerja.
Di samping beberapa
perkembangan konsep di atas, ada beberapa alasan lagi mengapa pada abad ke-20,
masalah-masalah personalia begitu diperhatikan. Ini dapat digolongkan ke dalam
lima sebab:[12]
a. Perkembangan scientific management yang dipelopori
oleh Taylor
b. Kekurangan tenaga kerja pada perang dunia pertama
bagi negara-negara yang memasuki peperangan
c. Kemajuan dari serikat-serikat pekerja
d. Semakin meningkatnya campur tangan pemerintah dalam
hubungan antara majikan dan buruh
e. Akibat depresi tahun 1930
Malapetaka ekonomi pada
tahun 1930 di masa terjadinya depresi besar yang diderita oleh pekerja, hampir
terjadi di seluruh belahan dunia. Hal ini meminta masing-masing pemerintah
untuk mengadakan perlindungan terutama
kepada golongan yang sosial ekonominya lemah. Seperti yang terjadi di
Amerika Serikat, pemerintah mendirikan Classification of Personnel
Intelligence Test, di Inggris didirikan Industrial Health Board yang
bertugas mengadakan penyelidikan secara intensif tentang kesehatan dan
kecelakaan pegawai di lingkungan industri. Demikian juga di Jerman didirikan
beberapa lembaga penyelidikan khusus mempelajari masalah-masalah personalia
dalam badan usaha. Untuk tujuan ini juga di Soviet Russia didirikan Central
Institute for the Science of Labour.[13]
Organisasai-organisasi semacam ini yang nantinya lambat laun menjadi cikal
bakal lahirnya konsep manajemen yang lebih mengatur hubungan manusia dengan
organisasi.
0 komentar:
Posting Komentar