Terbit di Radar Jogja, 05 Desember 2011
Beberapa waktu silam, tepatnya tanggal
1 Desember, sebagian masyarakat Indonesia kembali memperingati hari AIDS
sedunia. Seperti biasa, peringatan AIDS kali ini tetap mewacanakan stop deskriminasi
dan kesetaraan hak untuk ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Melalui slogan AIDS
-Stop AIDS dengan kasih sayang dan keteladanan- para aktivis dan sebagai
masyarakat yang peduli terhadap ODHA terus menghimbau semua lapisan masyarakat
untuk turut berperan aktif mengurangi ruang gerak penyebaran virus HIV/AIDS dan
menghilangkan sikap apatis dan diskriminasi terhadap ODHA.
Dari
tahun ke tahun isu ini selalu menjadi fokus utama para aktivis AIDS, karena
realitas sosial masyarakat masih menunjukan bahwa AIDS selalu mengalami
kostruksi sosial buruk dan penuh stigma. Dibandingkan dengan jenis penyakit
lain, AIDS adalah penyakit yang kental dengan syarat tekanan, dan bahkan teror
kultural dan struktural. Tak heran jika seseorang yang menjadi bagian dari
komunitas ini harus menahan malu, membatasi pergaulan, dan menyembunyikan diri
dari lingkungan.
Kondisi
yang seperti ini justru sangat memberikan tekanan yang sangat telak kepada
penderita AIDS. Jika kita berspekulasi, seandainya para ODHA selalu mendapat
tekanan semacam ini, akhirnya mereka geram dan berniat untuk menyebarluaskan
penyakit itu, ujung-ujungnya kita semua menjadi resah dan pastinya angka
kematian akibat AIDS semakin meningkat tajam.
Lebih
parah lagi ketika mereka yang mengidap AIDS dan berusaha menyembunyikanya,
kemudian dengan diam-diam memasuki area pergaulan positif kaula muda dan
menularkanya dengan berbagai cara seperti seks bebas, anal sexs,
transfusi darah, dll. Semua akan berakibat buruk bagi peradaban masyarakat masa
depan karena masyarakatnya akan dikenal dengan sebutan sick people.
Efek domino diskriminasi
Sebenarnya
tak ada alasan yang sahih bagi kita untuk bersikap apatis dan
mendiskriminasi para ODHA, karena mereka juga manusia sama seperti kita, ingin
hidup normal, ingin mendapatkan kasih sayang, ingin kesetaraan hak dan keadilan
di mata hukum dan masyarakat. Malah ketika kita memperlakukan mereka seperti
sahabat, mendengar curhatan mereka, pasti mereka mau turut serta membatasi
ruang gerak HIV dengan tidak melakukan kontak dan hubungan yang dapat
menularkan virus ini.
Ketika
kita mendiskriminasi ODHA, sesungguhnya ini menimbulkan efek domino disebagian
lini kehidupan dan tak jarang efek tersebut berimbas kepada masyarakat luas.
Ketika ODHA kehilangan kasih sayang dan kehangatan pergaulan sosial. Sebagian mereka
akan mengurung diri, lantas dari sikap itu mereka kehilangan pekerjaan, yang berarti
sumber penghasilan tidak ada dan pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial.
Sebagaian mengalami keretakan rumah tangga sampai perceraian. Akibatnya, jumlah
anak yatim dan piatu akan bertambah yang akan menimbulkan masalah tersendiri
bagi masyarakat. Ini hanyalah beberapa efek domino dalam bidang sosial ekonomi
dan belum dalam bidang-bidang yang lain.
Cerminan
ini menegaskan kepada kita betapa diskriminasi sangat membuat ODHA frustasi dan
terlempar dari pergolakan sosial dan ekonomi. Hakekatnya mereka sudah sangat
malu dan menangung beban dari penyakit yang belum ditemukan obatnya itu, ibarat
pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”, sewajarnya sebagai manusia kita
memperlakukan mereka layaknya sahabat.
‘memanusiakan’ ODHA
Jika
boleh meminjam bahasa Prof. Jhonson Mark –guru besar di university of
cambridge- bahwa semua lapisan masyarakat memiliki kewajiban yang mutlak
akan kehidupan ODHA yang selalu terpinggirkan. Mark menambahkan bahwa sikap
“memanusiakan” ODHA sangatlah penting karena bisa menjadi salah satu faktor
penentu keberlangsungan hidup penderita.
Karenanya
sebagai warga negara yang baik, kita patut memberikan ruang gerak dan kasih
sayang kepada ODHA. Dan ini sesuai dengan slogan yang didengungkan pada hari
AIDS sedunia di Indonesia. Curahan
kasih sayang pada mereka yang terinfeksi HIV dan AIDS sesungguhnya juga
merupakan berkah bagi semua manusia,
bukan hanya untuk mereka yang terinfeksi, karena perlakukan secara
manusiawi akan membuat ODHA bergairah melibatkan diri dalam memerangi HIV. Itu
adalah formula yang ampuh untuk menekan lajunya pertumbuhan penyakit yang
mematikan itu.
Kasih
sayang bisa diberikan dengan banyak cara, baik melalui personal maupun lewat
lembaga. Melalui personal (face to face) bisa dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari dengan memberikan kesetaraan hak dan kewajiban di mata masyarakat.
Atau dengan mendirikan lembaga-lembaga konseling, lembaga bermain yang mampu
mencairkan rasa frustasi dan kegelisahan ODHA.
Hanya
dengan memahami dan memberikan kasih sayang lah diskriminasi terhadap ODHA bisa
dienyahkan atau dengan kata lain mencegah AIDS melalui tangan ODHA. Kesediaan
untuk memahami frustasi ODHA juga memungkinkan kita memahami betapa pemberian
kasih sayang -sebagaimana yang telah menjadi slogan perang terhadap HIV/AIDS-
merupakan sesuatu yang amat penting. Dan dengan bertumbuhnya kesadaran itu,
jembatan kerja sama untuk memerangi HIV/AIDS dapat terbangun dengan baik.
0 komentar:
Posting Komentar