Tulisan ini terbit di Harian Jogja tanggal 8 November 2011
Tanggal 28 Oktober yang lalu, rakyat
indonesia telah usai memperingati hari sumpah pemuda. Dan sesaat setelah itu
hari besar pahlawan datang menanti. Dua penghormatan besar yang dipersembahkan
rakyat indonesia untuk seluruh tumpah darah yang telah berkorban untuk
kemerdekaan bangsa dan negara ini. Tapi sayang, penghargaan yang setiap tahun
diberikan itu masih sebatas ceremonial belaka.
Jika kita amati dari tahun ke tahun,
maka terlihat jelas para elite seakan turut larut dalam ceremonil tersebut.
Tentu bukan hal semacam itu yang diharapkan masyarakat. Masyarakat selalu
berharap dalam lapisan kepemimpinan negara berikut jajaran aparat semestinya
menjadi barisan terdepan yang dijadikan rujukan jiwa kepahlawanan. Dengan
perangkat jabatan dan status yang dimilikinya, seharusnya elit sangat
memungkinkan menjadi teladan dibandingkan dengan eksistensi sosok lainnya. Namun
keharusan tersebut tidak kunjung terkabul justru dekat dengan pengabaian. Ini
terbukti dari banyak serentetan kejadian buruk yang menyelimuti perjalanan
hidup negara ini.
Banyak hal yang harus diperbaiki
bangsa ini, mulai dari keterpurukan dan kebanggaan berbangsa, perekonomian yang
masih rendah, pengangguran tinggi, peningkatan harga barang kebutuhan kurang
sebanding dengan peningkatan penghasilan, negara tetap berbalut utang, dominasi
produk asing dalam kehidupan masyarakat justru semakin meluas, dan aset-aset
negara yang benar-benar dikuasai bangsa ini semakin menipis, membuat semakin
tidak berdaya di negeri sendiri. Ini semua mustahil bisa selesai jika para
pemimpinya tidak memiliki jiwa kepahlawanan.
Dalam buku ‘Pemimpin yang Hilang’,
Ruben Clark mengatakan bahwa negara yang maju akan sangat mudah menemukan
pemimpin yang berjiwa cultural di
dalamnya. Pemahamanya disini adalah pemimpin yang mau rela berkorban demi
kemajuan negara dan itu telah mendarah daging di dalam dirinya. Pemimpin yang
cultural akan lebih memprioritaskan kesejahteraan rakyat, ketimbang masalah
pribadinya. Pemimpin yang bermental cultural seperti ini yang tengah
dinanti-nanti masyarakat Indonesia.
Sungguh diakui sangat sulit menemukan
kaum elite yang bermental cultural sekarang ini. Jika dahulu pahlawan pra
kemerdekaan mau mencurahkan segala jiwa dan raganya untuk bangsa, tetapi sangat
kontradiktif dengan kejadian saat ini. Kebanyak dari elite yang memegang
peranan penting dalam menentukan kebijakan malah bermental self actualization, mau mengerjakan sesuatau karena ada iming-iming
dibalik pekerjaan itu.
Karnanya untuk masa yang akan
datang, kaum elite perlu merenungkan kembali visi misi-nya untuk negara ini.
Bagaimanapun kesejahteraan masyarakat harus menjadi prioritas utama. masyarakat
itu adalah sekelompok orang baik yang mau diarahkan. Ketika situasi tidak baik,
mereka cendrung pasrah menerima kebijakan, dan ketika situasi baik, mereka
dengan antusias bersemangat menyikapi itu semua. Maka untuk menciptakan iklim
yang baik, dibutuhkan banyak ‘pahlawan cultural’ yang mau rela berkorban,
berfikir inovatif untuk memajukan negara ini demi kelangsungan hidup yang
sejahtera dan makmur sentosa.
0 komentar:
Posting Komentar