Pendekatan
epistemologi empirisme positivisme melahirkan pengertian bahwa bahasa adalah
medium komunikasi belaka. Bahasa dalam episteme ini dimaknai secara polos.
Bahasa dipandang semata sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan,
untuk mengekspresikan rasa cinta dan seni, untuk melakukan persuasi-persuasi,
serta wahana untuk menyampaikan dan melestarikan kearifan-kearifan serta
nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh suatu komunitas. Sejauh mampu
menggunakan pernyatan-pernyataan yang akurat, menurut kaidah sintaksis,
semantik, logis dan menggunakan data-data empiris sebagai pendukung, pengguna
bahasa dalam pandangan ini dianggap memiliki kemampuan mental kognitif yang
bebas dari distorsi-distorsi (Hikam dalam Latif, 1996:78-79). Dalam pandangan
episteme ini pola dan hubungan makna dalam bahasa dapat dipelajari secara
diskrit atau otonom tanpa acuan-acuan informasi lainnya. Dalam menganalisis
suatu pidato, misalnya, referensi mengenai seluk-beluk pembicara tidak begitu
diperlukan. Pengkaji hanya perlu mengkonsentrasikan kajiannya pada naskah atau
teks pidato yang dimaksud, dan melihat makna pidato berdasarkan pada
kaidah-kaidah semantik/sintaksis teks tersebut.[1]
Wacana dalam perspektif ini dimaknai
sebagai : Pengucapan-pengucapan yang kompleks dan beraturan, yang mengikuti
norma atau standar yang telah pasti dan pada gilirannya mengorganisasikan
kenyataan yang tak beraturan. Norma atau standar itu, lebih jauh lagi dianggap
ikut menyusun perilaku-perilaku manusia yakni dengan cara memasukkan
episode-episode penampilan tertentu dalam kategori-kategori politik, sosial,
atau hubungan sosial lainnya (Saphiro dalam Latif, 1996:81).
Pandangan Saphiro ini menyiratkan
bahwa kaidah, norma atau standar (dalam hal ini sintaksis dan semantik) sangat
menentukan nilai suatu wacana. Secara lebih sederhana, Crystal dan Cook dalam
Nunan (1993) mendefinisikan discourse atau wacana sebagai unit bahasa lebih
besar daripada kalimat, sering berupa satuan yang runtut/koheren dan memiliki
tujuan dan konteks tertentu, seperti ceramah agama, argumen, lelucon atau cerita.
Walaupun tidak setegas Saphiro, Nunan melihat pentingnya unsur-unsur keruntutan
dan koherensi sebagai hal yang penting untuk menilai sebuah wacana. Sementara
Lubis secara lebih netral (2004:149) mendefinisikan wacana/diskursus sebagai
'kumpulan pernyataan-pernyataan yang ditulis atau diucapkan atau
dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda'. White (dalam Lubis, 2004:149)
mengartikannya sebagai 'dasar untuk memutuskan apa yang akan ditetapkan sebagai
suatu fakta dalam masalah-masalah yang dibahas, dan untuk menentukan apa yang
sesuai untuk memahami fakta-fakta yang kemudian ditetapkan'. Tidak seperti yang
lain White melihat wacana lebih sebagai sebab daripada sebagai akibat atau
produk.
Dengan pemahaman wacana seperti
tersebut di atas, Nunan 1993 menyatakan bahwa analisis wacana adalah studi
mengenai penggunaan bahasa yang memiliki tujuan untuk menunjukkan dan
menginterpretasikan adanya hubungan antara tatanan atau pola-pola dengan tujuan
yang diekspresikan melalui unit kebahasaan tersebut. Analisis wacana model
Nunan ini dilakukan melalui pembedahan dan pencermatan secara mendetil
elemen-elemen linguistik seperti kohesi, elipsis, konjungsi, struktur
informasi, thema dsb untuk menunjukkan makna yang tidak tertampak pada
permukaan sebuah wacana. Misalnya sebuah percakapan yang secara fisik tidak
memiliki cohesive links sama sekali dapat menjadi wacana yang runtut dalam
konteks tertentu, sementara suatu kelompok kalimat yang memiliki cohesive links
justeru tidak atau belum tentu menjadi wacana yang runtut, hingga dapat
disimpulkan bahwa eksistensi cohesive link tidak menjamin keruntutan suatu
wacana. Oleh karenanya ibutuhkan pengetahuan mengenai fungsi setiap ujaran yang
ada untuk memahami sebuah diskursus.
Misalnya pada
wacana sbb.:
A: Kita akan
menerima tamu-tamu untuk makan siang.
B: Ia seorang
penulis besar Atau pada:
A: Kamu pakai
kaus tangan?
B: Tidak
A: Bagaimana
dengan laba-laba?
B: Mereka juga
tidak pakai kaus tangan. (dari Nunan, 1993)
Kedua wacana di atas sekilas tampak
tidak bermakna, dan antara ujaran yang satu dengan yang lain nampak tidak ada
kaitannya. Tapi jika kita memahami konteks dan fungsi masing-masing ujaran
sesungguhnya mereka merupakan wacana yang bermakna.
Pandangan fenomenologi melangkah
lebih jauh dari pandangan empirisme positivisme dengan melihat bahasa tidak
secara steril atau terpilah dari subjek atau penuturnya. Tidak seperti
pandangan empirisme positivistik yang memotong objek dari subjeknya, dalam
persektif ini subjek dianggap memiliki intensi-intensi yang mempengaruhi bahasa
atau wacana yang diproduksinya. Dalam pandangan ini subjek memiliki peran yang
penting karena ia dapat melakukan kendali-kendali atas apa yang diungkapkannya,
atas apa yang ia maksud, atas bagimana maksud itu dikemukakan, apakah secara
terselubung atau eksplisit.
Seperti yang dikemukakan Dallmayr
(dalam Latif 1996:80) bahasa dan wacana menurut pemahaman fenomenologi justeru
diatur dan dihidupkan oleh pengucapan-pengucapan yang bertujuan. Setiap
pernyataan adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri
serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Analisis wacana dalam perspektif
ini berusaha membongkar dan mengungkap maksud-maksud tersembunyi yang ada di
balik ujaran-ujaran yang diproduksi. Dengan cara meneliti ujaran-ujaran yang
ada dalam wacana, lalu menarik garis merah dengan jati diri si penulis atau
pembicaranya. Analisis ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan kepada pembaca-pembaca
yang berpotensi tidak atau kurang menyadari adanya maksud tersembunyi si
pencipta wacana tersebut.
Pada pidato kenegaraan tgl 18
Agustus 1996 Presiden Soeharto mengajak semua pihak untuk menghormati konsensus
nasional tentang keberadaan tiga kekuatan politik, yakni dua partai politik
(PDI, P3) dan Golkar. Ia menegaskan penolakannya terhadap gagasan pembentukan
partai politik baru seraya mengingatkan adanya kemungkinan munculnya kembali,
meskipun dalam baju lain, Partai Komunis Indonesia yang telah dilarang sejak
tiga dasawarsa sebelumnya. Di samping itu, ia menyangsikan adanya dukungan
rakyat terhadap gagasan pembentukan wadah baru tersebut. Katanya: "Marilah
kita semua menghormati konsensus nasional yang telah kita mufakati dengan susah
payah dan memakan waktu panjang. Janganlah konsensus nasional ini kita
kotak-katik lagi hanya untuk memenuhi ambisi-ambisi pribadi dan golongan.
Jika kita belum puas dengan peranan
ketiga wadah kekuatan politik yang kita miliki, marilah kita perbaiki wadah
yang telah ada. Bukan dengan membuat wadah baru yang sama sekali tidak jelas
dukungannya dari rakyat" (Kompas Online, 18 Agustus 1996). Terlihat dari
penekanan-penekanannya bahwa penutur tampak berpihak pada kepentingan bangsa
(konsensus nasional yang telah dibangun dengan susah payah dalam waktu
panjang), seolah-olah konsensus dan kemufakatan itu adalah sesuatu yang
jelas-jelas ada. Pertanyaannya adalah apakah konsensus dan mufakat tersebut
memang nyata ada dan benar-benar telah dibangun melalui prosedur yang berlandaskan
pada azas demokrasi, dengan mempertimbangkan keterwakilan suara rakyat ?
Ataukah konsensus tersebut adalah konsensus semu yang tampaknya ada, lagi pula
sama sekali tidak dibangun dengan azas-azas demokrasi yang transparan dan
berkeadilan.
Penutur juga mempersoalkan dorongan
untuk menciptakan partai baru sebagai bentuk ambisi pribadi dan golongan.
Pertanyaannya apakah ambisi pribadi dan golongan tidak perlu ada dalam sebuah
negara, dan apakah ambisi ini selalu bersifat negatif dan mengancam kepentingan
nasional? Melalui analisis wacana fenomenologis ini dapat diungkap apa
kira-kira maksud Soeharto mengajak masyarakat untuk melestarikan konsep dua
parpol Golkar dan untuk tidak berpikiran membentuk partai baru. Seperti kita
ketahui pada masa itu Golkar, di mana Soeharto menjadi salah satu pemimpinnya,
adalah golongan yang sangat besar dan kuat. Dengan kondisi dua partai lain (PDI
dan P3) yang kekuatannya jauh di bawah Golkar, maka Golkar akan tetap menjadi
kelompok raksasa yang kekuatannya tak tertandingi. Soeharto yang pada waktu itu
sudah memerintah RI selama tiga puluh tahun tampak berkeinginan untuk
mempertahankan kedudukannya sebagai presiden RI dengan cara menjaga kestabilan
kekuatan politis yang ada, yakni dengan tidak membuka sekecil apa pun peluang
munculnya kekuatan baru yang mungkin mengancam kedudukan Golkar dan tentu saja
dirinya dan kelompok elitnya.
Lebih jauh dari fenomenologi,
penghampiran post-strukturalisme memandang bahasa bukan semata sebagai medium
ekspresi, tetapi sebagai medium untuk melakukan dominasi dan menyebarkan
kekuasaan. Bahasa adalah alat bagi lembaga-lembaga untuk menyebarkan
kekuasaannya. Pandangan ini melihat adanya konstelasi kekuatan dalam proses
pembentukan dan reproduksi makna. Discourse is the means by which institution
wield their power through a process of definition and exclusion, inteligibility
and legitimacy. What he means by this is the way particular discourse or
discursive formation define what it is possible to say on any given topic. A
discursive formation consists of a body of unwritten rules, and shared
assumptions which attempt to regulate what can be written, thought and acted
upon a particular field. (dalam Storey, 2001:78) Jika dalam beberapa pengertian
sebelumnya kata wacana terbatas pada pengertian unit kebahasaan, pernyataan,
pemikiran atau landasan penentuan dan pemahaman akan fakta-fakta, dalam konsep
Foucault, wacana mengandung pengertian akan adanya power dan kekuasaan di balik
pernyataan-pernyataan tersebut. Paham ini mempercayai bahwa relasi kekuasaan
dalam masyarakat mempengaruhi dan membentuk cara-cara bagaimana kita saling
berkomunikasi dan bagaimana pengetahuan diciptakan. Diskursus dipercayai
sebagai piranti-piranti yang digunakan lembaga-lembaga untuk mempraktekkan
kuasa-kuasa mereka melalui proses-proses pendefinisian, pengisolasian,
pembenaran. Ia menentukan mana yang bisa dikatakan, mana yang tidak terhadap
suatu bidang tertentu, pada kurun waktu tertentu pula.
Tata wacana terdiri dari sekumpulan
peraturan-peraturan tak tertulis serta asumsi-asumsi yang dipahami bersama
sebagai upaya untuk mengatur apa yang pantas ditulis, dipikirkan dan dilakukan
dalam suatu bidang. Analisis wacana mempelajari bagaimana peraturan-peraturan,
konvensi-konvensi dan prosedur-prosedur yang membenarkan dan menentukan tata
wacana (discursive practice). Ia menelusuri secara mendalam segala sesuatu yang
dikatakan atau ditulis dalam masyarakat, sistem umum, repertoir dari
topik-topik pembicaraan, aturan-aturan yang dinyatakan yang mengatur apa yang
boleh dikatakan dan apa yang tidak boleh, apa yang bisa diperdebatkan dalam
suatu bidang kajian. Aliran ini juga menentukan objek penelusuran secara
berbeda, yakni memfokuskan meskipun tidak secara eksklusif, terhadap
materi-materi tertulis dalam konteks lembagawi, sosial dan politis.
Analisis wacana dalam pengertian ini
tidak lebih mementingkan disiplin-disiplin budaya tinggi seperti susastra,
filsafat dan sejarah, ia menggunakan metode-metode analisis isi, naratologi,
semiotik dan ideologiekritik untuk mengungkap diskursus/wacana dalam kehidupan
sehari-hari. Karena kekuasaan senantiasa mengejawantah (inherent) dalam wacana,
maka studi wacana adalah pula studi politik atau lebih tepatnya studi politik
kritis, karena studi ini bersifat pembongkaran atas apa-apa yang tersembunyi.
Di sisi lain studi ini dapat pula disebut sebagai studi emansipatoris mengingat
adanya kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan studi terhadap wacana tanding
yang muncul atas wacana tertentu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan
Foucault bahwa kekuasaan itu menyebar, dan di mana ada kekuasaan pada umumnya
ada perlawanan atau resistensi (Hikam dalam Latif 1996).
Analisis wacana seks dalam keluarga
di Indonesia akan membongkar pernyataan-pernyataan mengenai seks yang banyak
diproduksi oleh lembaga-lembaga keluarga yang ada dalam masyarakat, misalnya
lewat percakapan antara ibu dan anak, adik dan kakak, suami dan isteri tentang
seks. Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat dilihat relasi kekuasaan yang
ada. Sebagai contoh sederhana misalnya ketika seorang ibu ngobrol tentang
masturbasi dengan anak laki-lakinya, apakah mereka bersikap terbuka, apakah si
ibu memberi penjelasan yang gamblang kepada anaknya mengenai fungsi masturbasi,
dan bagaimana melakukannya secara sehat, ataukah pembicaraan mereka terbatas
pada bisik-bisik yang serba tidak jelas karena adanya budaya rikuh dan malu.
Apakah si anak juga dengan leluasa menanyakan hal-hal yang ia risaukan atau
menjelaskan apa yang ia alami atau rasakan? Ataukah ia lebih bersikap tertutup?
Semua data-data itu menyiratkan bentuk-bentuk relasi kekuasaan yang ada di
antara mereka. Apakah ibu mengontrol atau bahkan membelenggu si anak dengan
melarang membicarakan hal-hal yang mendetil tentang masturbasi tersebut,
ataukah sebaliknya si ibu justeru sangat terbuka sementara sang anak bersikap
malu-malu. Ataukah mereka sama-sama membelenggu diri mereka sendiri dalam
budaya rikuh dengan tidak bersipa terbuka mengenai hal-hal yang seharusnya
menjadi pengetahuan umum bagi sang mereka berdua.
Relasi kekuasaan di antara mereka
mempengaruhi pengetahuan tentang masturbasi yang mereka ciptakan. Salah satu
yang dirasakan mengganggu dari pendekatan ini adalah krisis 'kebenaran' dan
'rasionalitas'. Dalam pandangan post-strukturalisme, misalnya fakta sejarah dan
'fakta legal' pun dipandang sebagai konstruksi diskursif yang maknanya amat
tergantung pada siapa yang bicara, di mana, bagaimana, kapan dsb, sehingga
tulisan-tulisan sejarah yang pada mulanya dianggap ilmiah dapat dibongkar
kembali menggunakan analisis wacana model ini , misalnya melalui pendekatan
naratif, atau analisis naratif untuk melihat alur pikir tulisan, dan dengan
demikian dapat dilihat pula maksud yang mungkin tersembunyi di balik penggunaan
alur pikir tersebut. "Fakta-fakta" sejarah menjadi kabur dan sehingga
tidak bisa dijadikan patokan. Dari tiga model analisis wacana, model terakhir
yang menggunakan perspektif Foucault dirasakan paling memberi peluang untuk
melakukan pembongkaran kritis terhadap "kebenaran-kebenaran" yang
selama ini dianggap mapan. Masih banyak model-model analisis wacana yang lain
yang dapat digunakan, yang memberi pilihan-pilihan seluas-luasnya bagi peneliti
atau pengkaji. Pembelajaran disertai praktik-praktik uji coba berbagai model
sesuai kebutuhan akan menghasilkan ketrampilan meneliti yang handal.
0 komentar:
Posting Komentar