Minimalisir Tindak Premanisme


            Ketika membaca Tajuk Rencana harian Seputar Indonesia edisi Sabtu, 25 Februari 2012 dengan judul Tontonan Kebiadabaan, adalah sebuah topik yang lagi hangat dibicarakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga menarik untuk kita cermati bersama, terutama berkaitan dengan cara penanggulanganya.
            Sumber harian Seputar Indonesia menyebutkan bahwa aksi premanisme kian hari kian menemukan wajah suram, tindak kekerasan yang ditimbulkanya tidak lagi mengenal tempat dan situasi, seperti yang terjadi di RSPAD Gatot Subroto yang notabene masuk ring 1 karena berdekatan dengan Istana Negara. Kejadian ini menjelaskan kepada masyarakat Indonesia bahwa negara telah gagal melindungi hak hidup warga negara dari tindak kekerasan yang ditimbulkan oleh premanisme.
            Premanisme yang sangat identik dengan tindak kekerasan itu, harus segera  diberantas hingga ke akar-akarnya. Sekarang yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana cara membrantas tindak premanisme di Indonesia?
            Sebelum membahas lebih lanjut, kita harus mengetahui dulu tentang penyebab awal terjadinya tindak kekerasan dan premanisme. Dalam buku the banality of evil (1994), yang ditulis oleh seorang teoretikus politik Jerman bernama Hannah Arendt, mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil berasal dari kedangkalan berpikir dan keputusasaan terkait sesuatu hal, kedua hal ini yang menyebabkan masyarakat terkondisikan dan mengganggap kekerasan sebagai suatu hal yang wajar (banality).
            Kedua penyebab di atas dapat diatasi apabila seluruh lapisan masyarakat mau bekerja sama dalam memberantas tindak premanisme. Lapisan masyarakat yang dimaksud dalam tulisan ini adalah, pertama adalah keluarga, yang dituntut mampu membentuk prilaku dan mau menghadirkan ruang spiritual ke dalam diri individu. Lapisan kedua adalah masyarakat sekitar yang harus ikut ambil bagian dalam menghilangkan kesenjangan sosial dan mau bersosialisasi secara aktif antara sesama. Lapisan ketiga adalah pembisnis yang sebenarnya paling banyak memberikan ruang pekerjaan bagi para preman, karenanya hal ini harus dihentikan dan pembisnis harus lebih percaya kepada aparat penegak hukum yang bisa menjaga harta benda. Lapisan terakhir adalah pemerintah dan terlebih pada aparat penegak hukum. Pemerintah harus ikut serta membantu penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, dan aparat penegak hukum harus mampu menjaga keamanan masyarakat, jangan sampai kedikdayaan aparat disaingi oleh para preman.     
            Jika semua lapisan ini mau aktif dan bekerja sama secara kontiniu, maka penulis sangat yakin keberadaan premanisme dan tindak kekerasan akan bisa diberantas.

0 komentar:

Posting Komentar